Pernahkah anda mendengar bahwa orang Sunda dilarang menikah dengan orang
Jawa atau sebaliknya? Ternyata hal itu hingga ini masih dipercaya oleh
sebagian masyarakat kita. Lalu apa sebabnya?
Mitos tersebut
hingga kini masih dipegang teguh beberapa gelintir orang. Tidak bahagia,
melarat, tidak langgeng dan hal yang tidak baik bakal menimpa orang
yang melanggar mitos tersebut.
Lalu mengapa orang Sunda dan Jawa
dilarang menikah dan membina rumah tangga. Tidak ada literatur yang
menuliskan tentang asal muasal mitos larang perkawinan itu. Namun mitos
itu diduga akibat dari tragedi perang Bubat.
Peristiwa Perang
Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri
Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam
Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di
Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa
itu, bernama Sungging Prabangkara.
Hayam Wuruk memang berniat
memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk
mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga
kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada
Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan
rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.
Maharaja Linggabuana
lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta
ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta
permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.
Menurut
Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai
Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya
pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan
di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah
yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat
alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di
Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada
Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka
bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan
pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk
sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah
Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Versi
lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah
dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi.
Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sedangkan Dyah Pitaloka
hanya dianggap tanda takluk.
"Soal pernikahan itu, teori saya
tentang Gajah Mada, Gajah Mada tidak bersalah. Gajah Mada hanya
melaksanakan titah sang raja. Gajah Mada hendak menjodohkan Hayam Wuruk
dengan Diah Pitaloka. Gajah mada Ingin sekali untuk menyatukan antara
Raja Sunda dan Raja Jawa lalu bergabung. Indah sekali," tegas sejarawan
sekaligus arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar.
Hal
ini dia sampaikan dalam seminar Borobudur Writers & Cultural
Festival 2012 bertemakan; 'Kontroversi Gajah Mada Dalam Perspektif Fiksi
dan Sejarah' di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur,
Magelang, Jateng, Selasa (30/10).
Pihak Pajajaran tidak terima
bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai
taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan
Linggabuana dengan Gajah Mada.
Perselisihan ini diakhiri dengan
dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa
kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui
superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah
Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan
putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke
Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas
Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda,
Linggabuana menolak tekanan itu.
Terjadilah peperangan yang
tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar,
melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang
berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam
kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana,
para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda
di Pesanggrahan Bubat.
Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah
Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk
membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan
nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh
para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur.
Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk
melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan
karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.
Hayam Wuruk
pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat
ini, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang.
Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari
pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap
ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan
lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota,
Raja Hayam Wuruk sendiri.
Tragedi perang Bubat juga merusak
hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus
berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit
tidak pernah pulih seperti sedia kala.
Pangeran Niskalawastu
Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali
dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih
terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup
dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.
Kebijakan
Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik
dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan
kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan
kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran
(beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari
luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh
menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan
lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.
Tindakan
keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk
melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh
rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki
'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena
kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja
Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi
yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.
Beberapa
reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda
kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi
semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang
dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti
kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat
sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama 'Gajah Mada'
atau 'Majapahit'. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan
nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas
akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.
Rabu, 31 Oktober 2012
Bedakan Benjolan di Payudara
Ghiboo.com - Memperhatikan setiap perubahan yang terjadi pada payudara merupakan tindakan awal mencegah ancaman kanker.
Perhatikan dengan cermat perubahan yang terjadi pada payudara Anda. Semakin dini pengecekan, maka risiko kanker payudara semakin bisa diminimalisirkan.
Benjolan lembut
Benjolan saat disentuh terasa lembut halus, berbentuk bulat (seperti buah anggur) yang mudah bergeser sedikit ketika Anda menekan di atasnya. Bentuknya bisa besar atau kecil dan menimbulkan rasa sakit ketika disentuh. Waspadai itu gejala kista sederhana atau kantong berisi cairan alami.
Perubahan hormon sekitar masa menstruasi bisa menjadi penyebabnya. Sekitar 30 persen wanita berusia 30-50 tahun mengalaminya. Lakukan USG untuk melihat apakah benjolan tersebut berisi cairan atau padat (kemungkinan kanker).
Cairan
Hati-hati bila keluar cairan lewat kedua puting susu padahal tidak sedang menyusui atau hamil. Biasanya, masalah di kelenjar tiroid atau hipofisi menjadi penyebab. Namun, waspadai bila cairan disertai darah (mungkin kanker) atau cairan dengan warna kekuningan atau kehijauan (infeksi).
Benjolan keras
Bila Anda menemukan sebuah benjolan keras dan padat dengan bentuk tidak teratur atau bergerigi dan saat ditekan, benjolan tidak bergerak, mungkin itu kanker atau tumor. Penyebabnya tidak diketahui, namun riwayat kesehatan keluarga menjadi faktor risiko utama. Tak ada cara lain selain segera temui dokter dan lakukan mammogram.
Benjolan licin dan mudah digerakkan
Bila menemukan benjolan keras, bulat dan bisa bergeser saat disentuh tanpa menimbulkan rasa sakit, mungkin Anda mengalami Fibroadenoma. Tumor jinak ini biasa diderita perempuan muda usia 20 tahunan akibat perubahan tingkat hormon. Segera temui dokter untuk mammogram. Jika tumor sudah besar, harus dilakukan operasi pengangkatan.
Maraknya kata-kata "elo-gue"
Sudah banyak cerita yang kita dengar mengenai orang yang terkaget-kaget
ketika pulang kampung dan mendengarkan siaran radio. Bukan apa-apa,
mereka terkejut karena para penyiar radio di sana bicara seperti
lagaknya penyiar radio Jakarta.
Penggunaan kata “elo”, “gue”, “bokap”, “nyokap” dsb sudah seperti makanan harian saja. Mengapa fenomena ini terjadi?
“Hal itu terjadi karena [mereka] ingin kelihatan modern,” kata Ivan Lanin, pencinta bahasa Indonesia dan kontributor Wikipedia. “Dan bahasa Indonesia dengan ragam Betawi itulah yang dianggap modern. Sementara bahasa daerah dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan ndeso.”
Bagaimana awalnya? Salah satu dugaan, ini bisa dibilang berawal dari kehadiran jaringan radio dari Jakarta di daerah-daerah pada awal tahun 2000-an.
Ryu Deka, seorang mantan penyiar radio di Yogyakarta menyebut bahwa kehadiran Prambors Radio tahun 2002 adalah awal dari menyebarnya gaya Jakartanisasi di sana.
“Saya dulu salah satu yang turut mendirikan Prambors di Yogya tahun 2002. Waktu itu namanya masih Jogja Radio. Kami memang sengaja mengadopsi gaya penyiar Jakarta, misalnya cara bicara yang cepat dan nadanya yang tinggi dan tentu saja memakai ‘elo-gue’,” kata Ryu.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan gaya bahasa Jakarta ini akan menghilangkan identitas kedaerahan. Ivan mengatakan, “Seperti kata pepatah, alah bisa karena biasa. Bisa-bisa nanti bahasa ragam Betawi ini dianggap sebagai satu-satunya ragam bahasa Indonesia yang benar.”
Kekhawatiran Ivan sangat masuk akal. Tak terbayangkan bila gaya bahasa seperti ini menyebar hingga kota-kota kecil dan identitas kedaerahan mereka akan makin terkikis — bila tidak hilang sama sekali. Apalagi, penyebaran sinetron yang ditayangkan nyaris semua televisi nasional juga makin gencar mempromosikan gaya bahasa ala Betawi ini.
Hilangnya bahasa daerah ini bukan pepesan kosong belaka. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada pengujung abad 21, bahasa daerah di Indonesia yang tadinya berjumlah 746 bahasa terancam menyusut hingga tinggal 75 bahasa.
Untungnya, sebagian besar warga Yogyakarta memiliki kearifan lokal untuk menolak penyeragaman gaya berbahasa seperti itu. Kebanggaan mereka dengan bahasa daerah dan logat kedaerahan sanggup melawan kehadiran gaya “elo-gue” yang marak di media.
“Awal ketika radio-radio menggunakan gaya bahasa Jakarta, timbul kehebohan. Tapi lama-lama hal seperti itu tidak bisa diterima. Orang Yogya sangat bangga dengan kelokalannya. Kalau radio mengadopsi mentah-mentah gaya bahasa orang Jakarta, itu akan ditolak pendengar,” kata Ryu.
Selain itu, penggunaan bahasa ragam Betawi ini kebanyakan masih terbatas pada perbincangan informal. “Kalau di Bahasa Indonesia kan gaya bahasa formal dengan informal sangat jauh. Selama penggunaan bahasa ragam Betawi itu masih di ranah informal, tidak ada masalah,” Ivan menjelaskan.
Walau begitu, kewaspadaan terhadap arus penyeragaman bahasa ini tetap harus ada. Jangan sampai keinginan untuk diidentikkan sebagai masyarakat modern malah membunuh keberadaan bahasa daerah. Perlu ditekankan bahwa bicara dengan bahasa daerah atau logat kedaerahan bukanlah hal yang memalukan — apalagi suatu keterbelakangan.
“Jangan sampai kita seperti pepatah ‘gajah di seberang lautan tampak, kuman di pelupuk mata tidak’. Kita mencari sesuatu yang modern dari jauh tapi melupakan kekayaan bahasa daerah sendiri. Bahasa daerah itu indah dan menyenangkan untuk didengar,” ujar Ivan.
Penggunaan kata “elo”, “gue”, “bokap”, “nyokap” dsb sudah seperti makanan harian saja. Mengapa fenomena ini terjadi?
“Hal itu terjadi karena [mereka] ingin kelihatan modern,” kata Ivan Lanin, pencinta bahasa Indonesia dan kontributor Wikipedia. “Dan bahasa Indonesia dengan ragam Betawi itulah yang dianggap modern. Sementara bahasa daerah dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan ndeso.”
Bagaimana awalnya? Salah satu dugaan, ini bisa dibilang berawal dari kehadiran jaringan radio dari Jakarta di daerah-daerah pada awal tahun 2000-an.
Ryu Deka, seorang mantan penyiar radio di Yogyakarta menyebut bahwa kehadiran Prambors Radio tahun 2002 adalah awal dari menyebarnya gaya Jakartanisasi di sana.
“Saya dulu salah satu yang turut mendirikan Prambors di Yogya tahun 2002. Waktu itu namanya masih Jogja Radio. Kami memang sengaja mengadopsi gaya penyiar Jakarta, misalnya cara bicara yang cepat dan nadanya yang tinggi dan tentu saja memakai ‘elo-gue’,” kata Ryu.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan gaya bahasa Jakarta ini akan menghilangkan identitas kedaerahan. Ivan mengatakan, “Seperti kata pepatah, alah bisa karena biasa. Bisa-bisa nanti bahasa ragam Betawi ini dianggap sebagai satu-satunya ragam bahasa Indonesia yang benar.”
Kekhawatiran Ivan sangat masuk akal. Tak terbayangkan bila gaya bahasa seperti ini menyebar hingga kota-kota kecil dan identitas kedaerahan mereka akan makin terkikis — bila tidak hilang sama sekali. Apalagi, penyebaran sinetron yang ditayangkan nyaris semua televisi nasional juga makin gencar mempromosikan gaya bahasa ala Betawi ini.
Hilangnya bahasa daerah ini bukan pepesan kosong belaka. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada pengujung abad 21, bahasa daerah di Indonesia yang tadinya berjumlah 746 bahasa terancam menyusut hingga tinggal 75 bahasa.
Untungnya, sebagian besar warga Yogyakarta memiliki kearifan lokal untuk menolak penyeragaman gaya berbahasa seperti itu. Kebanggaan mereka dengan bahasa daerah dan logat kedaerahan sanggup melawan kehadiran gaya “elo-gue” yang marak di media.
“Awal ketika radio-radio menggunakan gaya bahasa Jakarta, timbul kehebohan. Tapi lama-lama hal seperti itu tidak bisa diterima. Orang Yogya sangat bangga dengan kelokalannya. Kalau radio mengadopsi mentah-mentah gaya bahasa orang Jakarta, itu akan ditolak pendengar,” kata Ryu.
Selain itu, penggunaan bahasa ragam Betawi ini kebanyakan masih terbatas pada perbincangan informal. “Kalau di Bahasa Indonesia kan gaya bahasa formal dengan informal sangat jauh. Selama penggunaan bahasa ragam Betawi itu masih di ranah informal, tidak ada masalah,” Ivan menjelaskan.
Walau begitu, kewaspadaan terhadap arus penyeragaman bahasa ini tetap harus ada. Jangan sampai keinginan untuk diidentikkan sebagai masyarakat modern malah membunuh keberadaan bahasa daerah. Perlu ditekankan bahwa bicara dengan bahasa daerah atau logat kedaerahan bukanlah hal yang memalukan — apalagi suatu keterbelakangan.
“Jangan sampai kita seperti pepatah ‘gajah di seberang lautan tampak, kuman di pelupuk mata tidak’. Kita mencari sesuatu yang modern dari jauh tapi melupakan kekayaan bahasa daerah sendiri. Bahasa daerah itu indah dan menyenangkan untuk didengar,” ujar Ivan.
Nggak mau kena Stroke? Coba Rajin Makan Cokelat
REPUBLIKA.CO.ID,
Cokelat mungkin bukan hal yang sehat bagi pinggang Anda. Tetapi
berdasarkan penelitian seperti dikutip dari BBC, cokelat dapat
melindungi stroke.
Hasil penelitian di Swedia menunjukkan mereka yang mengonsumsi cokelat memiliki persentase 17 persen lebih kecil terkena stroke. Hasil penelitian tersebut juga telah dipublikasikan dalam jurnal Neurology.
Peneliti Profesor Susanna Larsson, dari
Institut Karolinska di Swedia, mengatakan efek menguntungkan dari
konsumsi cokelat terhadap stroke kemungkinan terkait dengan kandungan
flavonoidnya. Hasil penelitian di Swedia menunjukkan mereka yang mengonsumsi cokelat memiliki persentase 17 persen lebih kecil terkena stroke. Hasil penelitian tersebut juga telah dipublikasikan dalam jurnal Neurology.
Flavonoid merupakan antioksidan. Dia berperan dalam perlidungan terhadap penyakit kardiovaskular, anti-pembekuan dan anti-inflamasi. Kandungan flavonoid dalam cokelat juga dapat mengurangi konsentrasi jahat dalam darah dan mengurangi tekanan darah,’’ kata Susanna.
Dr Clare Walton, dari Asosiasi Stroke, mengatakan, ‘’Penelitian sebelumnya telah menunjukkan konsumsi dark chocolate merupakan cara untuk mengurangi risiko stroke. Namun, tentunya ini jika dimakan secara cukup dan seimbang. Pasalnya, cokelat juga banyak mengandung gula dan lemak.
Mengungkap Asal Usul Patih Gajah Yang Misterius
Keberadaan dan asal-usul pahlawan yang kondang dengan
Sumpah Palapa ini masih menjadi misteri bagi semua orang. Bahkan para
ahli sejarah pun belum menemukan kata sepakat dimana dia dilahirkan.
Dimana dia dibesarkan sampai bagaimana sosok Patih Gajah Mada
menghabiskan masa tuanya sampai saat ini menjadi tanda tanya besar.
Serta menjadi teka-teki sejarah yang belum terpecahkan.
Ada bahasan menarik yang disampaikan oleh sastrawan Anuf Chafiddi
atau sering dipanggil Viddy AD Daery dalam makalahnya dalam Seminar Sesi
II tentang Kontroversi Gajah Mada dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah di
Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 di Manohara Hotel,
Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng Senin (29/10).Secara tegas dirinya memberikan judul dalam makalahnya; "Foklor Mengenai Gajah Mada Lahir di Modo, Lamongan" yang artinya menyatakan dirinya yakin bahwa Gajah Mada dilahirkan, besar dan mati di Lamongan, Jatim.
"Gajah Mada pahlawan maha besar nusantara itu lahir di wilayah Lamongan, Jawa Timur? Untuk menjawab pertanyaan itu akan menimbulkan berbagai macam jawaban kalau ditanyakan ke banyak orang. Namun kalau ditanyakan kepada saya. Jawaban saya adalah betul," ungkap Viddy.
Ada lima alasan yang menjadikan Viddy yakin bahwa Gajah Mada berasal dari Lamongan, Jatim. Alasan itu di antaranya, di daerah Desa Modo dan sekitarnya termasuk Desa Pamotan, Desa Ngimbang, Desa Bluluk, Desa Sukorame dan sekitarnya tersebar foklor atau cerita rakyat. Dongeng dari mulut ke mulut mengisahkan bahwa Gajah Mada adalah kelahiran wilayah Desa Modo.
Kelima desa itu merupakan daerah ibu kota sejak didirikan jaman Kerajaan Kahuripan Erlangga. Bahkan anak cucu raja juga mendirikan ibu kota di situ. Alasanya strategis alamnya bergunung-gunung, bagus untuk pertahanan dan dekat dengan Kali Lamong cabang Kali Brantas. Selain itu ada jalan raya Kahuripan-Tuban yang dibatasi Sungai Bengawan Solo di Pelabuhan Bubat (kini bernama Kota Babat). Ibu kota ini baru digeser oleh cicit Airlangga ke arah Kertosono-Nganjuk.
Kemudian baru di zaman Jayabaya digeser lagi ke Mamenang, Kediri. Selanjutnya oleh Ken Arok, digeser masuk lagi ke Singosari. Baru kemudian oleh R Wijaya dikembalikan ke arah muara yaitu ke Tarik. Namun, anaknya yang akan dijadikan penggantinya yakni Tribuana Tunggadewi diratukan di daerah Lamongan-Pamotan-Bluluk lagi yaitu di Kahuripan alias Rani Kahuripan, Lamongan.
"Ketika Gajah Mada menyelamatkan Raja Jayanegara dari amukan pemberontak Ra Kuti, dibawanya Jayanegara ke arah Lamongan yaitu di Badender (bisa Badender Bojonegoro, bisa Badender kabuh, Jombang, keduanya memiliki rute ke arah Lamongan (Pamotan-Modo-Bluluk dan sekitarnya). Itu sesuai teori masa anak-anak dimana kalau anak kecil atau remaja berkelahi di luar desa pasti jika kalah lari menyelamatkan diri masuk ke desa minta dukungan. Di desanya banyak teman, kerabat maupun guru silatnya. Saya kira Gajah Mada juga menerapkan taktik itu,"ungkapnya.
Sebuah situs kuburan Ibunda Gajah Mada, yaitu Nyai Andongsari juga menjadikan Viddy yakin bahwa patih kerajaan jaman Majapahit itu berasal dari Lamongan. Kemudian juga ada situs kuburan yang sampai saat ini menjadi perdebatan dan kontroversial yang diyakini warga sekitar merupakan kuburan patih Gajah Mada. Namun, kuburan itu dalam posisi dan berkarakter kuburan islam.
"Kuburannya menghadap ke arah persis sebagaimana kuburan orang Islam. Kalau misalnya hal ini benar maka wajar saja masa tua Gajah Mada tidak ditulis di babad-babad atau kitab kuno. Sengaja disisihkan atau dihapus dari sejarah karena Gajah Mada mungkin dianggap 'murtad' atau semacam itu," jelasnya.
Arkeolog sekaligus sejarawan Fakultas Sejarah Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar menyatakan secara arkeologis belum ditemukan data tentang asal muasal dan keberadaan pasti Gajah Mada. Bahkan beberapa temuan prasasti-prasasti yang menyinggung tentang cerita Gajah Mada belum dan tidak bisa digunakan untuk penelitian dan memastikan benang merah sejarah cikal bakal Gajah Mada itu sendiri.
"Beberapa data soal keberadaan Gajah Mada yang belum digunakan. Data Gajah Mada secara arkeologis tidak ada. Yang ada nanti jika digunakan menjadi tafsir di atas tafsir. Prasasti yang terabaikan itu diantaranya: Prasasti Gajah Mada di situs Candi Singosari (Tahun 1351 M), Prasasti Relief Mahameru (Pawitra) yang menjelaskan Mahameru sebagai titik asis mundi.
Kemudian penemuan Candi Tikus di situs Trowulan yang gayanya mirip Candi Singosari. Mungkinkah Candi Tikus diperintah Gajah Mada untuk dibangun.
"Candi Kepung 7 meter di muka tanah sangat dekat dengan Candi Tikus di Kepung Kediri. Ada lagi Prasasti Hemadwalandit, Prasasti Bendodari (Tahun 1360 M),"tuturnya.
Agus Aris menyatakan karena tidak ada bukti arkeologis yang ditemukan terkait keberadaan dan cikal bakal Gajah Mada dan saking menariknya tokoh yang satu ini, banyak sekali daerah yang sampai mengklaim secara lisan bahwa di daerah mereka merupakan asal muasal maupun tempat meninggalnya Gajah Mada.
"Ada yang mengakui bahwa Gajah Mada dari Buton, Gajah Mada dari Wange-wange Bali. Ada yang bahkan mengatakan bahwa Gajah Mada adalah keturunan pasukan Tor-Tor,"ungkap Agus Aris Munandar.
Sampai saat ini, penelitian Arkeologi belum berhasil menemukan jati diri, sosok Gajah Mada yang seutuhnya. Sebab dari arkeologi sejarah, mempunya peringkat validitas data.
"Data primer, data sekunder dan data tertier. Berita- berita dari mulut ke mulut (folklor) itu, menurut Aris itu merupakan data tersier dan bersifat negatif. Data primer prasasti itu mutlak dan dibuat pada jamanya. Prasasti dengan angka tahun dihargai dengan angka tahun. Data pendukung: zaman, bergeser. Negarakertagama lebih falid dari Pararathon. Ada peringkat yang tidak bisa kami tabrak begitu saja. Silahkan multi tafsir nanti akan diperbaiki," kata Agus.
Sumber:http://id.berita.yahoo.com/mengungkap-asal-usul-patih-gajah-mada-yang-misterius-011234545.html